Contact

Rizky maulana / Sofi Pujiastuti

telp 08112240196 / 081320140019

email Rizfajzan @ gmail

twitter follow@AlfabbyRizky

Pasar Soreang Blok I & II E ( Hj Wewen ) Soreang Bandung

No Rek 13000 - 1122 - 4030 Bank mandiri Cab Soreang - Bandung

Hari kerja Senin - Jum'at ( kecuali hari Libur Nasional)

Jam kerja 08.00 - 16.00 WIB

Sabtu, 25 Juni 2011

Antara Kambing, Minyak dan Emas...

Antara Kambing, Minyak dan Emas... PDF Print E-mail
Oleh Muhaimin Iqbal   
Kamis, 23 June 2011 08:52
Dalam banyak kesempatan ketika saya menjelaskan tentang stabilitas daya beli emas atau Dinar terhadap kebutuhan pokok manusia, saya sering menggunakan bukti kambing ukuran baik standar qurban yang selalu bisa dibeli dengan satu koin Dinar sejak lebih dari 1400 tahun lalu. Meskipun bukti ini berdasarkan hadits dan data empiris jaman ini, temen-temen saya para ekonom sering menganggap bukti berdasarkan harga kambing tersebut agak ndeso – sehingga ada keengganan mereka untuk mengakuinya sebagai bukti yang ilmiah.

Tetapi karena kambing hanyalah salah satu representasi kebutuhan pokok manusia (mewakili kebutuhan makanan), kestabilan daya beli emas ini sesungguhnya juga bisa dibuktikan berdasarkan statistik modern. Hanya statistik harga kambing yang panjang tidak mudah diperoleh, maka saya ingin membuktikan kestabilan daya beli emas ini terhadap kebutuhan pokok lainnya yang lebih available data statistik-nya.

Untuk ini saya gunakan data statistik harga minyak mentah dunia sejak berakhirnya Perang Dunia II – yaitu sejak 1946 hingga 2011 ini. Harga minyak kemudian kita sandingkan antara harga dalam US$ dengan harga dalam satuan gram emas. Hasilnya dapat kita lihat pada grafik dibawah.
 
Oil Price in US$ and in GoldOil Price in US$ and in Gold
Dari grafik diatas kita bisa lihat bahwa ketika harga emas dan minyak keduanya terbentuk oleh mekanisme pasar yang mendekati sempurna, maka harga minyak dalam mata uang kertas (US$) cenderung meningkat secara parabolic – sebaliknya harga minyak dalam gram emas cenderung menuju titik stabilitas pada harga tertentu.

Dalam rezim Breton Woods (1946-1971) ketika harga emas dipaksakan setara dengan daya beli mata uang kertas US Dollar, maka terjadi ilusi stabilitas harga minyak. Ilusi ini berakhir bersamaan dengan berakhirnya rezim Breton Woods tersebut. Perhatikan  tahun-tahun semenjak dibubarkannya kesepakatan Breton Woods (1971), daya beli uang kertas terhadap kebutuhan pokok manusia yang dalam hal ini diwakili oleh harga minyak - menunjukkan jati diri yang sesungguhnya yaitu terus menurun. Itulah sebabnya, mengapa saya mengkategorikan uang kertas sebagai aset yang akan menurunkan kemakmuran pemegangnya – Wealth Reducing Asset.

Sebaliknya juga terjadi, ketika harga emas tidak lagi dipaksakan terkendali dalam rezim Breton Woods tersebut diatas – fluktuasi harga emas cenderung beriringan dengan fluktuasi harga-harga komoditi kebutuhan manusia. Walhasil bila kebutuhan-kebutuhan manusia tersebut dibeli dengan emas – maka harganya akan cenderung stabil dalam jangka panjang. Jangka pendeknya tetap berfluktuasi karena faktor supply and demand,  tidak ada daya dorong parabolic seperti yang terjadi bila mata uang kertas yang digunakan.

Sebenarnya bukan hanya emas yang memiliki kecenderungan daya beli stabil jangka panjang ini, seluruh komoditi kebutuhan manusia akan memiliki kecenderungan yang sama. Satu komoditi sama komditi lain harganya berfluktuasi dalam jangka pendek – tetapi mekanisme pasar yang akan mendorongnya stabil dalam jangka panjang. Ketika supply melebihi demand, harga turun – orang mengurangi produksi; sampai titik tertentu demand akan melebihi supply dan menarik harga ke atas begitu seterusnya.

Jadi ketika berbicara tentang satbilitas daya beli emas atau Dinar, kini kita tidak lagi hanya terpaku pada harga 1 ekor kambing yang setara 1  Dinar – tetapi juga harga minyak dalam emas atau Dinar ataupun harga-harga komoditi lain yang dibutuhkan oleh manusia sepanjang jaman. Wa Allahu A’lam.

Mengelola Wealth Producing Assets Dengan Gold Based Capital...

Mengelola Wealth Producing Assets Dengan Gold Based Capital... PDF Print E-mail
Oleh Muhaimin Iqbal   
Senin, 20 June 2011 07:18
Penjelasan tentang Wealth Producing Assets (WPA) dan Gold Based Capital (GBC) keduanya sudah saya tulis sebelumnya, kali ini saya akan gunakan keduanya untuk day to day business practice. Ilustrasinya begini, bila Anda bekerja pada perusahaan yang asetnya Rp 100 Milyar 5 tahun lalu dan kini aset perusahaan tersebut meningkat dua kalinya menjadi Rp 200 Milyar – tetapi kok karyawan tidak merasakan adanya peningkatan kesejahteraan yang dua kalinya – mengapa ?. Karena dalam nilai daya beli riil Rp 200 Milyar sekarang sesungguhnya kurang dari Rp 100 Milyar lima tahun tahun lalu, dari teori peluruhan yang juga telah saya perkenalkan sebelumnya menunjukkan daya beli Rupiah terhadap emas menjadi separuhnya setiap 4.3 tahun !.

Mengapa tolok ukur baku itu kita gunakan emas, bukan angka inflasi ?. Kalau kita gunakan angka inflasi, angka inflasi mana yang kita gunakan ?. Inflasi umum yang rata-ratanya 6.8 % atau inflasi bahan pangan yang 12 % selama lima tahun terakhir ?. Mengapa hanya lima tahun ?, mengapa tidak 10 tahun , 20 tahun atau 30 tahun – yang lebih setara dengan lama kerja rata-rata karyawan?. Data puluhan tahun  yang terkait inflasi ini selain belum tentu ada dan kalau toh ada yang jelas juga belum tentu akurat. Maka mengapa tidak kita gunakan data yang sahih saja yang umurnya 1400 tahun lebih ?. Inilah data daya beli emas (Dinar) yang direpresentasikan dalam bentuk daya belinya terhadap kambing.

Dalam contoh ilustrasi diatas Rp 100 Milyar aset  setara dengan sekitar 125,000 Dinar (atau 125,000 ekor kambing ukuran baik) lima tahun lalu, asset perusahaan yang menjadi Rp 200 Milyar sekarang  hanya setara dengan 105,800 Dinar ( atau 106,820 ekor kambing ukuran baik). Bila seandainya Anda seorang peternak kambing, lima tahun lalu Anda memiliki 125 ekor kambing dan sekarang kambing tersebut tinggal 106 ekor apakah dapat dikatakan Anda bertambah makmur ?, jangankan bertambah makmur – mempertahankan kemakmuran Anda-pun tidak.

Bila perusahaan Anda sejatinya tidak bertambah makmur, lantas apakah perusahaan tersebut dapat memakmurkan orang-orang yang bekerja di dalamnya ?. Kemungkinan besarnya juga tidak.

Pertanyaan cerdas-nya adalah, bukankan perusahaan yang sudah berjerih payah di sektor riil seharusnya asetnya menjadi Wealth Producing Assets seperti dalam tulisan tersebut diatas ?. Betul demikian, tetapi setelah memberikan hasil – ibarat ember bocor – hasil jerih payah tersebut tersimpan kembali dan tercatat dalam nilai mata uang yang terus tergerus inflasi.

Hasil jerih payah usaha sektor riil tersebut yang belum digunakan saat ini untuk membayar biaya biaya – termasuk gaji Anda, sebagian besarnya akan tersimpan dalam mata uang kertas berupa retained earning, cadangan pengembangan usaha, cadangan penyusutan untuk membeli mesin-mesin atau peralatan baru nantinya, cadangan pesangon karyawan yang akan pensiun sekian tahun yang akan datang, cadangan biaya kesehatan karyawan dan keluarganya dlsb.dlsb.

Walhasil, cape-cape berusaha memutar aset menjadi Wealth Producing Assets – ketika menyimpan hasilnya di Wealth Reducing Assets – efek resultant-nya adalah dibawah Wealth Preserving  Assets. Hasil usaha sektor riil Anda sejatinya sudah bener  berada di daerah hijau pada grafik dibawah, namun karena hasilnya tersimpan di daerah merah – maka kemungkinan hasilnya di garis kuning atau bahkan diawahnya seperi contoh dalam ilustrasi kambing diatas.
 
Logarithmic Wealth Reducing, Preserving and Producing AssetsLogarithmic Wealth Reducing, Preserving and Producing Assets
Grafik logaritmik diatas menunjukkan bahwa, bila hasil jerih payah Anda yang tersimpan dalam mata uang Rupiah memberikan hasil bersih 6 % misalnya (Deposito) – sedangkan pertumbuhan harga emas rata-rata 18% saja – maka setelah 30 tahun (saat Anda pensiun !) dana yang Anda depositokan beserta akumulasi bagi hasil-nya setelah dikonversikan kembali ke emas tinggal 4.46% !. Wealth Reducing Assets inilah yang menggerogoti hasil jerih payah Anda berpuluh tahun.

Lantas bagaimana mengatasi hal ini ?. Sumber pelajarannya ada di Surat Yusuf 47-48 berikut : Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) secara sungguh-sungguh; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan”.

Menimbun emas, perak, gandum dlsb. di Islam adalah hal yang sangat dilarang (QS 9 : 34), namun mengapa di Al-Qur’an juga diberi contoh bagaimana Nabi Yusuf menganjurkan umat-nya menyimpan sebagian hasil panenannya selama tujuh tahun ?.  Karena yang dilakukan Nabi Yusuf tersebut bukan menimbun (yaknizun) tetapi membangun ketahanan ekonomi (yukhsinun). Gandum yang disimpan dibulirnya oleh Nabi Yusuf  berdasarkan kebutuhan yang nyata kedepan – yaitu menghadapi paceklik.

Kita yang hidup di jaman ini, tidak diberi wahyu untuk mendeteksi kebutuhan yang akan datang seperti Nabi Yusuf tersebut diatas. Tetapi kita diberi ilmu untuk bisa memahami data-data empiris bahwa daya beli mata uang kertas terus menyusut, bahwa biaya hidup kita akan terus meningkat, bahwa harga mesin atau peralatan usaha terus naik dlsb.dlsb., maka insyaAllah mempertahankan daya beli dari hasil jerih payah kita juga termasuk bentuk membangun ketahanan ekonomi – menjaga agar ‘gandum’ kita di ‘bulir’nya – yaitu tidak busuk dan tetap bernilai tinggi ketika waktunya dinvestasikan (ditanam) kembali atau digunakan di masa yang akan datang.

Lantas teknisnya bagaimana ?, teknisnya sudah saya singgung pada tulisan Gold Based Capital tersebut diatas. Jerih payah usaha Anda yang tidak segera digunakan dalam setahun kedepan, dapat dirupakan dalam bentuk cadangan emas atau Dinar. Pada waktunya digunakan  untuk membeli mesin, memberi pesangon karyawan saat pensiun, ekspansi usaha dlsb. dicairkan dalam bentuk bisa digadai atau dijual. Solusi komprehensif tentang Gold Based Capital untuk korporasi atau institusi saat ini sudah dapat kami berikan sebagai hasil kerjasama kami dengan beberapa bank syariah yang sudah menunjukkan ketertarikannya. Karena solusi masing-masing korporasi atau institusi akan unique, maka silahkan menghubungi kami bila korporasi atau institusi Anda tertarik.

InsyaAllah kita bisa membangun dan sekaligus menjaga kemakmuran umat ini secara bersama-sama. Amin. 

Kamis, 02 Juni 2011

Gold Based Capital : Menumbuhkan Sektor Riil Untuk Melawan Inflasi...

Gold Based Capital : Menumbuhkan Sektor Riil Untuk Melawan Inflasi... PDF Print E-mail
Oleh Muhaimin Iqbal   
Rabu, 01 June 2011 06:05
Di dunia perbankan ada istilah Capital Adequacy Ratio (CAR) atau Rasio Kecukupan Modal, yaitu suatu rasio yang menggambarkan perbandingan antara modal bersih yang dimiliki suatu bank dengan total asetnya – setelah memperhitungkan faktor risiko. Mirip dengan ini di dunia asuransi dikenal istilah Risk Based Capital (RBC), yaitu kekayaan bersih perusahaan juga setelah diperhitungkan dengan faktor-faktor risiko. Keduanya memiliki kesamaan yaitu aset perusahaan yang sesungguhnya yang dimiliki oleh bank atau asuransi – sangat bisa jadi tidak sebesar asset yang diperhitungkan berdasarkan standar akuntansi – setelah faktor-faktor risikonya dimasukkan dalam perhitungan. Lantas bagaimana dengan aset pribadi atau perusahaan Anda, berapa nilai yang sesungguhnya ?, tumbuhkah atau malah menyusut ?.

Saya tidak akan memperkenalkan formula yang njlimet seperti perhitungan CAR di perbankan atau RBC di asuransi untuk menghitung nilai sesungguhnya dari aset pribadi atau perusahaan Anda, saya perkenalkan saja apa yang saya sebut Gold Based Capital (GBC) – yang mengukur nilai riil aset Anda dengan menggunakan standar harga emas.

Untuk mudahnya dipahami konsep ini saya gunakan ilustrasi berikut : anggap lima tahun lalu (2006) Anda punya aset uang  sebesar lima unit (bisa satuan apa saja milyar Rupiah, juta dollar dlsb). Anda investasikan secara terpisah masing-masing satu unit ke Deposito Rupiah (asumsi hasil rata-rata 7 %), Deposito Dollar (asumsi hasil rata-rata 2.5%), Saham (asumsi hasil mengikuti pergerakan IHSG), Emas untuk nantinya dijual ke Rupiah ( asumsi apresiasi nilai mengikuti harga emas dalam Rupiah) dan Emas yang nantinya dijual ke Dollar ( asumsi apresiasi mengikuti harga emas dalam US Dollar).

Setelah lima tahun berlalu (2011),  berdasarkan asumsi-asumsi tersebut diatas pertumbuhan masing-masing aset Anda akan menjadi seperti pada grafik dibawah.
 
Asset Growth in Original CurrenciesAsset Growth in Original Currencies
Perhatikan semua aset nampak memberikan hasil atau tumbuh. Deposito baik dalam Rupiah maupun dalam US Dollar secara persistent tumbuh dibawah pertumbuhan harga emas baik di Rupiah maupun di Dollar. Saham yang direpresentasikan oleh fluktuasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), tumbuh secara fluktuatif – kadang jauh diatas harga emas tetapi kadang juga anjlog jauh dibawah.

Dengan kacamata Rupiah atau US Dollar, Anda mungkin sudah senang dengan pertumbuhan aset ini.  Masalahnya adalah daya beli riil Rupiah dan Dollar juga anjlog tergerus inflasi selama lima tahun ini – inilah faktor risiko yang hampir pasti terjadi yang mestinya ikut diperhitungkan dalam menilai aset Anda. Karena faktor risiko inilah nilai sesungguhnya dari aset Anda tersebut diatas perlu di adjusted dengan faktor inflasi – tetapi data inflasi yang mana yang bisa kita pakai ?, di negeri ini inflasi umum rata-rata lima tahun terakhir ‘hanya’ 6.8 % tetapi rata-rata inflasi bahan pangan untuk periode yang sama adalah 12 % !.

Agar Anda tidak pusing memikirkan data inflasi mana yang digunakan, maka gunakan saja harga emas sebagai patokan. Mengapa harga emas ?, Pertama harga emas di dunia dibentuk oleh mekanisme pasar yang nyaris sempurna – sehingga harganya adalah reliable, kedua data harga emas yang paling up-dated baik dalam Rupiah maupun dalam US Dollar ini selalu available setiap saat, dan utamanya yang ketiga karena harga emas telah terbukti stabil mencerminkan harga-harga benda riil kebutuhan manusia untuk periode yang amat sangat panjang yaitu lebih dari 1400 tahun !. Maka setelah aset-aset Anda tersebut diatas di adjusted atau di standarisasi dengan menggunakan harga emas, hasilnya akan seperti pada grafik dibawah.
 
Asset Growth Based on GoldAsset Growth Based on Gold
Emas baik yang semula akan dijual dalam Rupiah maupun US Dollar, bila di standarisasi dengan emas itu sendiri tidak tumbuh atau tidak bertambah sampai kapan-pun. Deposito Anda dalam Rupiah maupun dalam US$ nampak terus menyusut – semakin lama semakin menjauh dari standar harga emas. Untuk saham berfluktuasi kadang diatas dan kadang dibawah.

Saham yang sedikit mencerminkan sektor riil dapat menumbuhkan aset Anda yang dihitung dengan standar emas – meskipun berisiko tinggi. Untuk tingginya risiko investasi di saham ini pernah saya tulis di situs ini yang mengutip thesis S2-nya Ibu Sri Pangestuti.

Bila deposito-deposito nilai riilnya dengan standar emas terus menyusut dan investasi saham berisiko, lantas apa investasi yang paling tepat untuk Anda ?. Saya cenderung untuk terus mendorong Anda berinvestasi di sektor riil. Memang untuk ini Anda akan menghadapi setidaknya dua risiko sekaligus yaitu risiko usahanya sendiri dan risiko inflasi, namun insyaallah keduanya bisa di-minimized.

Risiko usaha dapat Anda minimized dengan memilih bidang yang sangat Anda pahami seluk beluknya, melakukan riset maksimal dibidang tersebut dari segala aspek yang terkait, membuat business model dan business plan yang matang serta mengimplementasikannya dengan prudent atau penuh kehati-hatian.

Risiko inflasi dapat Anda minimized atau bahkan hilangkan bila Anda bisa mengelola pertumbuhan aset Anda berbasis emas atau Dinar, bukan emas atau Dinar yang disimpan tetapi emas atau Dinar yang menjadi modal yang terus berputar.  Untuk lebih jelasnya,  ilustrasi dibawah ini menggambarkan siklus usaha Anda setelah menggunakan Dinar atau emas sebagai basis-nya.
 
Business Cycle Change From Fiat To GoldBusiness Cycle Change From Fiat To Gold
Mudahkah ini diimplementasikan ?. Kerjasama antara  Gerai Dinar dengan BMT Daarul Muttaqiin telah siap memfasilitasi Anda untuk memutar usaha berbasis Dinar ini,  namun bagi Anda yang belum comfortable atau familiar dengan Dinar – maka emas lantakan juga bisa digunakan sebagai basis modal untuk menggerakkan sektor riil. Untuk yang terakhir ini kami telah merintis pembicaraan dengan beberapa bank syariah untuk sinergi-nya, insyaAllah dalam waktu dekat layanan yang komprehensif yang terkait dengan penggunaan emas sebagai modal ini akan segera terwujud.

Sebagaimana lawan riba adalah perdagangan dan sedekah, maka inflasi harus bisa kita taklukkan dengan berputarnya harta di sektor riil dan ketika masih idle berupa cadangan modal-pun dia dalam bentuk yang tidak mempan digerus inflasi yaitu Dinar atau  emas. InsyaAllah.

Setelah Kelantan dan Utah, Bagaimana Dengan Kita...?

Setelah Kelantan dan Utah, Bagaimana Dengan Kita...? PDF Print E-mail
Oleh Muhaimin Iqbal   
Selasa, 31 May 2011 07:33
Entah siapa yang lebih pinter dan lebih berpikiran maju di era tidak berdayanya mata uang kertas dalam menghadapi krisis financial global yang masih segar di ingatan kita, tetapi ada tiga peristiwa penting yang bisa jadi pelajaran kita yang  terjadi dalam setahun terakhir ini dalam hal mata uang dunia. Di Indonesia pekan lalu tanggal 24 Mei 2011, di Komisi XI DPR RI seluruh fraksi menyetujui RUU Mata Uang untuk selanjutnya dibawa ke rapat Paripurna untuk mendapatkan pengesahan. Di Amerika Serikat, salah satu negara bagiannya yaitu Utah dua bulan sebelumnya tepatnya  tanggal 25 Maret 2011 – Gubernur negara bagian itu secara resmi menanda tangani apa yang disebut Utah Legal Tender Act, yang intinya mengakui koin emas dan perak sebagai salah satu uang resmi yang bisa di gunakan di negara bagian itu.

Utah sebenarnya bukan negara bagian yang pertama yang secara resmi mengakui koin emas dan perak sebagai uangnya, di negeri tetangga kita negara bagian Kelantan - Malaysia sudah mendahuluinya hampir satu tahun lalu untuk secara resmi menggunakan koin emas Dinar dan koin perak Dirham sebagai uang di negara bagiannya.

Yang bisa menjadi pelajaran menarik adalah alasan di belakang kerja keras melawan arus yang dilakukan oleh para legislator yang berhasil meng-goal-kan koin emas dan perak tersebut sebagai uang resminya. Mengapa mereka sampai mau bersusah payah ‘melawan’ negara federal yang hanya mengakui uang kertas-nya sebagai uang resmi dengan meng-goal-kan koin emas dan perak juga sebagai uang resmi ?.

Di Kelantan selain mereka tahu keperkasaan daya beli  Dinar dan Dirham, upaya menggunakannya kini tidak terlepas dari upaya untuk menegakkan syariat – maka Dinar dan Dirham di negeri itu disebut sebagai Matawang Syariah.  Mereka juga melakukan berbagai upaya untuk memasyarakatkan Matawang Syariah ini, selain untuk membayar sebagain gaji pegawai – mereka juga menjadikannya sebagai identitas tersendiri. Bahkan di bandara udara sebagai pintu masuk Kelantan orang akan disambut dengan tulisan “Negara Dinar dan dirham”.

Utah tentu saja tidak concern dengan syariat, tetapi juga membutuhkan uang dari emas dan perak ini karena mereka yakin bahwa Dollar-pun seharusnya di backed –up dengan emas atau perak. Krisis financial tiga tahun terakhir yang hingga kini belum sembuh benar, telah membuat masyarakat yang cerdas negeri bagian itu mengkawatirkan kebijakan-kebijakan Obama yang akan bisa membuat uang Dollar mereka collapse. Kekawatiran ini tentu saja amat sangat beralasan karena sebelum gejala krisis muncul awal  2007, untuk membeli 1 Oz emas hanya dibutuhkan uang kertas  US$ 600-an dan kini hanya dalam waktu kurang lebih 4 tahun kemudian, untuk membeli 1 Oz emas yang sama dibutuhkan lebih kurang dua setengah kalinya yaitu US$ 1,500-an.

Di belahan dunia lain di negeri ini, para legislator kita yang saya yakin betul bahwa  lebih banyaknya Muslim sehingga mereka tentunya paham bahwa nishab zakat ditimbang dengan Dinar atau Dirham dan bukan Rupiah, nishab pencuri dan uang diyat dlsb juga ditimbang dengan Dinar atau Dirham, tidakkah mereka ingin mengikuti legislator Kelantan yang menjadi facilitator bagi rakyat/umatnya untuk dapat melaksanakan syariat dengan lebih akurat ?.

Saya agak yakin pula bahwa mereka mestinya juga paham dengan apa yang terjadi dengan daya beli uang kertas dalam dua dasawarsa terakhir – lebih-lebih para legislator ini pastinya sudah memasuki usia dewasa ketika uang kertas kita nyaris lumpuh dan daya belinya anjlog tinggal seperempatnya pada krisis 1997/1998. Melalui kehancuran mata uang kertas ini pula, sejumlah besar asset terbaik negeri ini berpindah tangan – mulai dari BUMN-BUMN telekomunikasi, perbankan sampai sejumlah industri kini berada ditangan asing – karena murahnya mereka membeli setelah Rupiah hancur pasca krisis 1997/1998 tersebut. Tidak-kah mereka tergerak untuk membangun ketahanan ekonomi berdasarkan uang yang kuat, yang daya belinya tidak bisa dipermainkan oleh para spekulan, yang daya belinya terbukti stabil lebih dari 1,400 tahun ?.

Tetapi sekali lagi kita tidak bisa hanya berandai-andai dan berharap pada manusia, kita bisa berbuat dengan apa yang kita bisa, mulai dari yang kita tahu – insyaAllah Allah akan membimbing kita dengan apa yang kita belum tahu. Hanya kepada Allah-lah kita berharap dan memohon pertolonganNya...Amin.

Dinar dan Dirham : Risk and Return...

Dinar dan Dirham : Risk and Return... PDF Print E-mail
Oleh Muhaimin Iqbal   
Kamis, 19 May 2011 08:16
Dinar dan Dirham adalah ibarat sejoli yang hidup berdampingan dalam system mata uang Islam. Bila di situs ini tulisan saya selama ini masih lebih fokus ke Dinar – ini adalah karena Dinar lebih praktis pengelolaannya,  lebih rendah risikonya dan juga lebih rendah komponen biaya cetak untuk pengadaannya. Namun seiring dengan permintaan Dirham yang mulai juga tumbuh, insyaAllah kamipun akan meresponse permintaan tersebut secara memadai dalam waktu dekat. Sama dengan Dinar kami yang sekarang dicetak oleh LM-Antam dan PERURI, Dirham kamipun selain dicetak oleh LM-Antam seperti yang terjadi selama ini – juga akan dicetak oleh PERURI untuk menambah pilihan yang ada di masyarakat dan juga menambah supply.

Dibandingkan dengan Dinar yang sudah dikenal luas lebih dahulu oleh masyarakat, setidaknya tiga masalah tersebut diatas yaitu kepraktisan, risiko dan biaya cetak perlu dipahami juga oleh masyarakat sebelum Dirham ini juga digunakan secara luas sebagaimana Dinar.

Pertama adalah dari sisi kepraktisan ,  specific grafity emas adalah 19,320 kg/m3 sedangkan perak memiliki specific grafity 10,490 kg/m2 ; maka safe deposit box ukuran kecil dengan dimensi 12.5 cm x 12.5 cm x 60 cm akan dapat menyimpan emas (asumsinya tanpa pembungkus apapun) sekitar 181 kg, sedangkan untuk menyimpan perak hanya cukup untuk sekitar 98 kg.

Dengan tingkat harga saat ini Rp 420,000/gram untuk emas dan Rp 9,500/gram untuk perak, maka safe deposit box kecil tersebut cukup untuk menyimpan emas senilai sekitar Rp 76 Milyar, sedangkan untuk perak hanya cukup untuk menyimpan sekitar Rp 930 juta. Artinya dari sisi pengelola seperti Gerai Dinar , untuk mengelola Dirham dengan nilai yang sama dengan Dinar  akan memerlukan ruang penyimpanan yang besarnya kurang lebih 82 kalinya.

Kedua adalah dari sisi risiko fluktuasi nilai, bila selama sepuluh tahun terakhir harga emas tertinggi adalah 5.8 kali harga terendahnya, untuk perak harga tertingginya hampir mencapai 12 kali harga terendahnya. Dari sisi potensi gain memang besar sekali, tetapi ini juga terkait dengan potensi loss bila harga lagi turun.
 
Fluktuasi Emas 10 Tahun TerakhirFluktuasi Emas 10 Tahun Terakhir
Penurunan terbesar dalam sepuluh tahun terakhir untuk emas misalnya terjadi antara Maret 2008 ke Oktober 2008 yang mencapai 29 %. Pada periode yang kurang lebih sama penurunan harga perak mencapai sekitar 57%. Artinya peluang untuk memperoleh gain dari apresiasi yang tinggi di perak, juga harus disadari adanya peluang loss dari penurunan nilai yang juga tinggi.
 
Fluktuasi Perak 10 Tahun TerakhirFluktuasi Perak 10 Tahun Terakhir
Ketiga adalah dari sisi biaya cetak, bila biaya cetak Dinar hanya merepresentasikan sekitar 3.5% dari nilai Dinar, untuk Dirham biaya cetak ini bisa mencapai sekitar 48 % dari nilai Dirham.  Artinya  nilai Dirham hanya akan tetap terjaga selama dia dipertukarkan atau diberlakukan sebagai Dirham, bila harus dilebur untuk kegunaan lain misalnya – maka akan ada kehilangan nilai yang cukup besar dari hilangnya biaya cetak tersebut.

Memang sejatinya Dinar dan Dirham adalah alat tukar yang sesungguhnya, ketika keduanya diperlakukan sebagai alat tukar maka tiga permasalahan tersebut tidak terjadi. Tidak akan dibutuhkan tempat penyimpanan yang besar bila Dirham bisa terus berputar memfasilitasi perdagangan di masyarakat, tidak perlu dicemaskan fluktuasi nilainya dalam mata uang kertas karena daya belinya terhadap kebutuhan riil masyarakat jauh lebih stabil ketimbang mata uang kertas manapun, dan tidak juga terlalu perlu dirisaukan biaya cetaknya karena toh biaya cetak ini akan terbawa dalam nilai Dirham itu sendiri secara terus menerus selama dia tidak dilebur untuk kegunaan lain.

Maka dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, insyaAllah supply Dirham khususnya dalam bentuk koin 5 Dirham yang disebut Khamsah (Dirham) akan mulai kami tingkatkan dalam bulan-bulan yang akan datang. InsyaAllah !.